Street Food (makanan jalanan)
menurut kacamata saya: makanan/ minuman yang dijual di pinggir jalan. Setiap
bepergian ke mana pun saya selalu menyempatkan diri untuk bluksukan ke pasar
dan mencari jajanan lokal. Indonesia, memiliki kekayaan kuliner yang beragam
dari Sabang sampai Merauke ditambah pembauran penduduknya, meramaikan khazanah
perkulineran yang luar biasa. Kebetulan karena saya lahir dan tinggal di tanah Sunda plus punya darah nenek moyang dari Cina,
perpaduan kultur Cina- Sunda menghasilkan jajanan yang diklaim aseli Bandung seperti: bakso
cuanki, bakso tahu, siomay Bandung dan lain sebagainya.
Bagi saya, senikmat-
nikmatnya makan di restoran, tidak ada yang mengalahkan kenikmatan makan jajajan
di pinggir jalan. Kenapa? Kadang
mungkin makanannya biasa aja tapi karena punya cerita jadi orang tetap bertahan
mencari makanan itu, seperti kue jajan pasar yang terkalahkan oleh keik pelangi
tapi bagi saya kue jajan pasar buatan si Nyonya yang udah uzur itu punya
kenangan dari masa kecil saya. Ada juga tukang bakso jualan di gerobak butut yang
berlokasi persis di sebelah rel kereta api, sambil melahap bakso sambil setiap beberapa saat dikejutkan dengan berisiknya suara kereta api. Semua makan di sana tanpa harus tahu siapa kamu, dari mana kamu berasal, apa
pekerjaan kamu, apa jabatan kamu, apa profesi kamu. Kebanyakan penjual makanan
jalanan itu menjajakan jualannya sendiri, dengan satu atau dua orang yang
bantu, biasanya dari keluarga sendiri. Ketika tamu yang datang makan sedikit,
penjualnya seringkali menyempatkan diri untuk ngobrol. Dari obrolan singkat lalu kemudian
merasa akrab dan kemudian berjanji dalam hati untuk kembali kesana. Bisa jadi karena
sering makan di sana lalu jadi kenal dengan penjualnya, bahkan hafal dengan
kebiasaan kita.. "Koq tumben gak pesan es jeruk Neng?" "Mie
jangan pakai bawang daun dan kuahnya yang banyak ya kan?" "Tumben ga
bawa jeruk limo sendiri, lagi gak berbuah ya pohon jeruknya ya?" Kadang juga kalau
saya datang sendiri lalu diajak ngobrol lalu ditanya "Mama sehat?"
Kemudian diberi bonus gorengan plus sebait doa agar keluarga semuanya sehat ^.^
Saya mau cerita pengalaman
pribadi. Saya bukan penggemar gudeg ceker, tapi ketika saya punya kesempatan
pergi ke Solo saya mencari informasi kuliner wajib Solo dan salah satunya harus
mencoba gudeg ceker legendaris yang katanya harus belinya tengah malam- subuh.
Liburan bangun subuh? Whatttt.... Yang benar saja!! Ketika mampir salah satu pusat kuliner
malam kota Solo untuk makan malam, ada cabang gudeg ceker legendaris ini dan karena saya dan teman
saya bukan penggemar ceker, saya maksa- maksa beli sepasang ceker, sebelah
untuk saya dan sebelah lagi untuk teman saya. Singkat cerita, sepasang ceker
ayam itu berhasil membuat saya dan teman saya jatuh cinta sekaligus penasaran dengan si
empunya nama. Malam itu pasang alarm dan subuh- subuh tanpa mandi bergegas naik taksi ke
gudeg ceker kemudian hati senang bisa menatap langsung wajah si ibu sambil
makan gudeg ceker satu piring.
Makan makanan jalanan itu jorok
dan asal-asalan dalam mengolah makanan? Ah emangnya makanan restoran itu
terjamin hygienis? Terlepas dari maraknya pemberitaan di media, tayangan di
televisi tentang penggunaan zat pewarna tekstil, boraks, formalin, plastik
untuk menggoreng supaya renyah. Menurut saya, semua pemberitaan dan tayangan
yang menyeramkan itu hanya untuk sensasi, supaya rating naik atau untuk informasi supaya orang- orang tidak jajan sembarangan. Ya terlepas dari masing- masing individu bebas memilih, mau tetap makan makanan jalanan atau tidak. Tak jarang saya pun menerima pengaduan dari penjual bakso langganan saya yang mengeluh omzet menurun karena pemberitaan boraks dan formalin. Banyak koq para
pedagang yang punya hati nurani, tulus berjualan makanan untuk kepuasan lidah
para penikmatnya. Apalagi makanan jalanan yang bisa bertahan sampai beberapa
generasi dan punya pelanggan sendiri dari jaman kakek nenek kita. Saya percaya
di dunia ini semua harus melewati seleksi alam dan juga faktor keberuntungan.
Kalau penjual makanan serius dalam berjualan dengan ketekunan, mempertahankan
rasa secara konsisten, memperhatikan kebersihan dan dengan memasukkan rasa
cinta dalam mengolah makanan, dia bisa bertahan dan berkembang. Soal harga,
murah atau mahal itu relatif. Kalau di kota sendiri sih apalagi sudah
langganan, menurut saya sih harganya masih masuk di akal. Saya masih bisa makan
kenyang plus minum dengan Rp. 10.000 di beberapa makanan jalanan langganan
saya. Jika sedang menemani teman ke tempat yang banyak wiswatawan domestik
biasanya saya bicara bahasa Sunda, jadi harga masih okelah. Nah yang gawat itu
ketika berplesir ke daerah lain yang tidak bisa bahasanya, jadi kalau harga
jadi melambung tinggi saya hanya bisa pasrah.
Ingatkah apa makanan kegemaran
Presiden Obama ketika kunjungan ke Indonesia? Bakso. Sebagian besar orang luar
negeri yang berkunjung ke Indonesia menyebut sate dan nasi goreng sebagai
makanan Indonesia favorit. Bakso, sate dan nasi goreng itu awalnya itu makanan
yang dijual di jalanan. Di sekitaran rumah saya saja ada banyak sekali penjual
bakso dan ketika malam hari sering terdengar teriakan penjual sate dan nasi
goreng. Banyak pula makanan jalanan yang naik pangkat, masuk di restoran hotel-
hotel berbintang, disajikan di jamuan kenegaraan, bahkan makanan jalanan bisa muncul
di festival- festival kuliner di luar negeri. Jangan menganggap remeh makanan
jalanan dan harus dilestarikan jangan sampai punah dan sebisa mungkin
diperkenalkan kepada anak cucu kita agar mereka tahu bahwa kuliner Indonesia yang
kaya ini awal mulanya berasal dari makanan jalanan (Street Food)
Femina
Femina